Follow Us @soratemplates

Half Purple and Blue Butterfly

Sunday, April 27, 2014

MASALAH DUNIA DALAM FISLAFAT MANUSIA


Filsafat manusia adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang makna menjadi manusia. Filsafat manusia banyak mengajukan pertanyaan mengenai diri manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek penelitiannya, sebagai objek yang dianggap penuh dengan misteri. Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk menyelidiki dan menganalisis sesuatu secara mendalam. Manusia berpikir dan menganalisa banyak hal. Pada suatu titik manusia akan sampai kepada saat di mana dia akan bertanya mengenai arti keberadaannya sendiri sebagai manusia.
Dengan demikian filsafat manusia mengantar manusia untuk menyelami kehidupannya sendiri, dan sangat mungkin mendapat pencerahan mengenai menjadi manusia yang lebih utuh. Dalam sejarah, manusia selalu berusaha memecahkan permasalahan pokok tentang makna dan eksistensinya yang selalu sulit memperoleh jawaban. Filsafat manusia ada untuk mendorong manusia mencari hakekatnya.
Manusia sangat memerlukan pemahaman tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan, karena dengannya ia berbuat dan berperilaku di dunia ini. Namun sebagian pemikir yang semestinya menfokuskan pikiran-pikirannya untuk mengarahkan dan membantu umat manusia meraih tujuannya malah menjadi batu penghalang bagi kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia. Seringkali kita mendengar sebagian intelektual menyatakan bahwa dengan keberadaan krisis-krisis yang meliputi dunia sekarang ini tidak seharusnya waktu kita dihabiskan untuk menggali dan mempelajari filsafat penciptaan. Manusia mestinya memusatkan segenap pemikirannya dalam bidang ekonomi dan sosial untuk mencari solusi yang terbaik bagi permasalahan kehidupan ini. Para pendukung gagasan ini lalai atas suatu hakekat bahwa jika manusia tidak mengenal substansi filsafat penciptaannya sendiri, maka sangat banyak problematika yang mustahil dapat terpecahkan.



                             


PEMBAHASAN
Dalam aliran filsafat abad ke-20 yang biasa dinamakan dengan “fenomenologi”, dunia merupakan masalah pokok yang sangat diutamakan. Perhatian untuk dunia ini sebenarnya adalah hal baru dalam filsafat. Atau lebih tepat lagi kalau dikatakan dalam aliran fenomenologis, arti dunia mendapat istilah baru dan memainkan peran yang lebih besar dari sebelumnya. Pada abad sebelumnya yakni abad ke18 dan 19 terdapat cabang metafisika yang bertugas menyelidiki maslah dunia. Cabang metafisika ini disebut kosmologi. Dalam kosmologi dibicarakan tentang dunia, yakni sesuatu di luar manusia (materi mati, tumbuhan, hewan) sedangkan cabang metafisika lain membahas manusia sebagai makhluk lain.
1.      Aku-tanpa-dunia pada Descartes
Rene Descartes (1596-1650) dalam arti tertentu seluruh fislafat modern berkumpul dengan masala-masalah Descartes dalam alam pikiran filosofis. Demikian juga halnya dengan masalah dunia.
Jasa Descartes terbesar adalah bahwa ia menemukan “aku”. Refleksi filosofis tentang manusia sebaiknya berpangkal pada subyektifitas atau pengalaman dunia sebagai “aku”. Jalan yang ditempuh Descartes untuk menemukan subyektifitas sebagai dasar filsafatnya, ia yakin akan menemukan sesuatu hal yang baru.
Yang paling penting untuk kita uraikan saat ini adalah bahawa “aku” mengenal dirinya sendiri, dengan kata lain bahwa “aku: secara langsung hadir dalam dirinya sendiri. Pendirian ini dapat disebut imanentisme Descartes. Menurut Descartes “aku” adalah substansi yang hakekatnya adalah berfikir. Dengan kata lain, bahwa aku adalah kesadaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa semus proses yang berlangsung dalam kesadaran bersifat sama sekali imanen. Kesadaran tidak memerlukan hal lain untuk mencapai taraf sadarnya. Salah satu proses kesadaran adalah pengenalan. Menurut Descartes, dalm proses pengenalan dibuthkan benda-benda di luar. Obyek pengenalan adalah unsur-unsur kesadaran, yaitu ide-ide. Secara langsung saya mengenal ide-ide yang terdapat dalam diri saya sejak lahir. Tetapi ide-ide itu menggambarkan sesuatu atau interpretasi yang lain.



2.      Kesadaran sebagai Intensionalitas
Yang dimaksud di sini adalah masalah yang menyangkut subyektifitas dan dunia. Edmund Husserl (1859-1938) adalah filsuf pertama yang menunjukkan jalan keluar dari masalah ini. husserl mengkritik pendapat Descartes cogito ergo sum  yang tidak lengkap. Tidak pernah “saya berpikir” begitu saja, tetapi setiap aktus kesdaran mempunyai objeknya. Maka dari itu cogito saja tidak cukup, seharusnya Descartes harus berkata cogitatum-lebih baik lagi dalm bentuk jamak-cogito cogitata. Selalu saya memikirkan apa yang dipikirkan (cogitata). Tidak pernah saya sadar begitu saja tapi kenyataannya saya sadar akan sesuatu. Pada manusia tidak pernah ada kesadaran murni. Selalu ada kesadaran yang terarah pada suatu obyek. Kesadaran yang tampak pada diri sendiri tidak hanya dengan cara tak langsung saja. Yang langsung contohnya “ saya melihat pohon itu”, “saya mendengar suara itu”,dst. Secara langsung saya sadar bahwa saya melihat pohon itu saya mendengar suara itu. Tidak pernah saya sadar akan kesadaran saya secara langsung.
Menurut Husserl, intensionalitas tidak merupakan aspek kesadaran  di antara aspek-aspek lain yang mungkin ada. Intensionalitas bukanlah “sifat tambahan” pada kesadaran, melainkan hakikat kesadaran itu sendiri. Kesadaran adalah kesadaran karena intensional. Heidegger mengungkapkan hal yang sama bahwa manusia adalah eksistensi, yang biasa ia tulis dengan ek-sistensi. Hidup sebagai manusia berarti keluar (ek) dari imanensinya dan terarah pada yang lain.
Dengan demikian kita kembali pada masalah dunia. Kalau subyektifitas dianggap sebagai keterarahan kepada yang lain, makanya kiranya sudah jelas bahwqa kita menerima hubungan dialektis antara subyektifitas dan dunia. Subyektifitas dan dunia adalah korelatif, yang satu mengandaikan yang lain.







Sebagai akibat dari perkembangan pemikiran manusia yang hanya berkutat pada aliran vitalisme dan materialisme, timbul masalah masalah baru yang semakin hari semakin membuat manusia terjerumus dalam permasalahan baru. Diantara sekian banyak permasalahan yang timbul, ada beberapa hal yang efeknya sangat dirasakan perubahannya di dunia ini, antara lain:
1.    Kehidupan dunia yang transient (tidak langgeng)
Sedikit membahas tentang paham materialisme yang berasal dari kata materi/material, yang berarti suatu objek atau bahan menempati ruang dan dapat diukur. Paham materialisme dapat diartikan sebagai paham yang meyakini esensi kenyataan. Paham tersebut lebih mengunggulkan faktor material diatas faktor spiritual. Maksudnya, dunia ini adalah kumpulan materi yang bergerak. Mereka mengatakan bahwa kekuatan spiritual(roh,jiwa,kesadaran) adalah materi yang sedang bergerak. Semua kejadian yang terjadi di dunia ini harusnya bisa dibuktikan secara empiris oleh manusia. Kalau tidak, maka bukan berarti ada kekuatan siritual yang sedang mempengaruhi. Melainkan akal manusia tersebut yang belum mampu membuktikannya. Paham yang dianut oleh Karl Marx (1818-1883) , Thomas Hobbes (1588-1679) ,Van Der Welj (2000)  tersebut sangat bertolak belakang dengan hakekat kehidupan pada dasarnya.  Bagaimana ketika manusia memandang aspek ketidaklanggengan(transient), ketidakabadian dan keterbatasan kehidupan di dunia ini? Lantas mereka melahirkan pertanyaan pertanyaan tentang hakekat penciptaan dan tujuan kehidupan. Padahal semua kebahagiaan, kenikmatan dan kebaikan di dunia ini akan mengalami kefanaan,kehancuran dan kepunahan. Tak satupun dari perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah hakekat kehidupan yang tak satupun manusia dapat ingkari. Bagi mereka yang belum mengerti akan nilai tersebut, di dalam lubuk hati mereka selalu bertanya: Apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan alam yang tak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia ini? Apakah yang diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja selalu berujung pada masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan keberuntungan manusia? Bagaimana dengan nasib manusia manusia yang semasa hidupnya mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pertanyaan tersebut sering kali mengacaukan hakekat hidup manusia ketika ia disandingkan dengan adanya Tuhan. Adalah keberadaan tuhan yang membuat kehidupan di dunia ini menjadi tidak langgeng, hancur dan punah. Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki. Saat mereka telah mendapatkan apa yang ia cita citakan, maka mustahil mereka akan menanyakan dan merenungkan kembali hal hal yang berhubungan dengan hakikat hidup,paham materialisme dan tujuan hidup ini.
2.    Misteri kematian
Sama seperti permasalahan di atas, bagi orang orang yang menganut paham materialisme, mereka akan mempertanyakan misteri kematian dalam dirinya masing masing. Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk hidup. Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapati kehidupannya harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas merenung, mempertanyakan mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah menghabiskan banyak waktu untuk memperjuangkannya, hanya berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan? Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan manusia di dunia ini.
3.    Kegagalan dalam meraih cita cita.
Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mengerti dengan sendirinya tentang tujuan atau cita cita hidup mereka. Dan setiap manusia sudah menentukan sendiri peran apa yang akan mereka ambil untuk mensejahterakan hidup mereka. Inilah yang disebut pemenuhan cita cita. Seperti paham vitalisme memahami pemikiran ini, dimana vitalisme meyakini bahwa kenyataan sejati adalah energi, daya, kekuatan dan nafsu yang bersifat irrasional dan instingtif. Paham vitalisme menolak adanya materialisme dan idealisme. Paham ini berpendapat bahwa setiap kejadian hanya dipengaruhi oleh daya, energi, atupun nafsu yang tidak rasional ataupun yang pada akhirnya dapat dirasionalkan. Apabila dikaitkan dengan kegagalan meraih cita cita, paham vitalisme sangat mendasari bagaimana sebagian orang berusaha meraih apa yang mereka sebut dengan cita- cita,bagaimanapun caranya dan berapakan waktu dan tenaga yang terkuras olehnya.
Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan, manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi kehidupan duniawinya. Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang.
Sebagai contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang dicita-citakan, di saat seperti ini  terkadang akan mengarahkan pikiran jernih dan menggoyah kesadaran batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat penciptaan.
4.    Kondisi kehidupan sosial yang tak menguntungkan.
Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan masalah yang sulit dicari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya. Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan kemalangan? Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya, tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi. Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.























PENUTUP

Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan kompleks. Ada banyak hal yang bisa saja terjadi tanpa kita prediksi terlebih dahulu. Satu paham atau aliran saja tidak bisa menjawab semua eksistensi kita sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan paling sempurna ini. Bahkan apabila setiap individu terlalu meyakini, berpatok dan berbuat sesuai satu aliran yang ia yakini tanpa mengindahkan faktor lain, bukan malah kesejahteraan hidup yang ia dapat. Melainkan kemalangan, keserakahan dan ketidak adilan yang akan ia dapat. Bayangkan ada berapa banyak manusia di dunia ini dengan segala pemikirannya. Dan apa yang akan terjadi apabila menusia semakin tidak arif dalam berfikir dan menyikapi persoalan di dunia ini.
Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa diraih ketika manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya. Apabila manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan kepada kehidupan duniawi dan material. Para pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.

No comments:

Post a Comment