Filsafat manusia adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang makna menjadi manusia. Filsafat manusia banyak mengajukan pertanyaan mengenai diri manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek penelitiannya, sebagai objek yang dianggap penuh dengan misteri. Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk menyelidiki dan menganalisis sesuatu secara mendalam. Manusia berpikir dan menganalisa banyak hal. Pada suatu titik manusia akan sampai kepada saat di mana dia akan bertanya mengenai arti keberadaannya sendiri sebagai manusia.
Dengan demikian filsafat manusia mengantar manusia untuk menyelami kehidupannya sendiri, dan sangat mungkin mendapat pencerahan mengenai menjadi manusia yang lebih utuh. Dalam sejarah, manusia selalu berusaha memecahkan permasalahan pokok tentang makna dan eksistensinya yang selalu sulit memperoleh jawaban. Filsafat manusia ada untuk mendorong manusia mencari hakekatnya.
Manusia
sangat memerlukan pemahaman tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan,
karena dengannya ia berbuat dan berperilaku di dunia ini. Namun sebagian
pemikir yang semestinya menfokuskan pikiran-pikirannya untuk mengarahkan dan
membantu umat manusia meraih tujuannya malah menjadi batu penghalang bagi
kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki manusia. Seringkali kita mendengar sebagian
intelektual menyatakan bahwa dengan keberadaan krisis-krisis yang meliputi
dunia sekarang ini tidak seharusnya waktu kita dihabiskan untuk menggali dan
mempelajari filsafat penciptaan. Manusia mestinya memusatkan segenap
pemikirannya dalam bidang ekonomi dan sosial untuk mencari solusi yang terbaik
bagi permasalahan kehidupan ini. Para pendukung gagasan ini lalai atas suatu
hakekat bahwa jika manusia tidak mengenal substansi filsafat penciptaannya
sendiri, maka sangat banyak problematika yang mustahil dapat terpecahkan.
PEMBAHASAN
Dalam
aliran filsafat abad ke-20 yang biasa dinamakan dengan “fenomenologi”, dunia
merupakan masalah pokok yang sangat diutamakan. Perhatian untuk dunia ini
sebenarnya adalah hal baru dalam filsafat. Atau lebih tepat lagi kalau
dikatakan dalam aliran fenomenologis, arti dunia mendapat istilah baru dan
memainkan peran yang lebih besar dari sebelumnya. Pada abad sebelumnya yakni
abad ke18 dan 19 terdapat cabang metafisika yang bertugas menyelidiki maslah
dunia. Cabang metafisika ini disebut kosmologi. Dalam kosmologi dibicarakan
tentang dunia, yakni sesuatu di luar manusia (materi mati, tumbuhan, hewan)
sedangkan cabang metafisika lain membahas manusia sebagai makhluk lain.
1.
Aku-tanpa-dunia
pada Descartes
Rene
Descartes (1596-1650) dalam arti tertentu seluruh fislafat modern berkumpul
dengan masala-masalah Descartes dalam alam pikiran filosofis. Demikian juga halnya
dengan masalah dunia.
Jasa
Descartes terbesar adalah bahwa ia menemukan “aku”. Refleksi filosofis tentang
manusia sebaiknya berpangkal pada subyektifitas atau pengalaman dunia sebagai
“aku”. Jalan yang ditempuh Descartes untuk menemukan subyektifitas sebagai
dasar filsafatnya, ia yakin akan menemukan sesuatu hal yang baru.
Yang
paling penting untuk kita uraikan saat ini adalah bahawa “aku” mengenal dirinya
sendiri, dengan kata lain bahwa “aku: secara langsung hadir dalam dirinya
sendiri. Pendirian ini dapat disebut imanentisme Descartes. Menurut Descartes
“aku” adalah substansi yang hakekatnya adalah berfikir. Dengan kata lain, bahwa
aku adalah kesadaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa semus proses yang
berlangsung dalam kesadaran bersifat sama sekali imanen. Kesadaran tidak
memerlukan hal lain untuk mencapai taraf sadarnya. Salah satu proses kesadaran
adalah pengenalan. Menurut Descartes, dalm proses pengenalan dibuthkan
benda-benda di luar. Obyek pengenalan adalah unsur-unsur kesadaran, yaitu
ide-ide. Secara langsung saya mengenal ide-ide yang terdapat dalam diri saya
sejak lahir. Tetapi ide-ide itu menggambarkan sesuatu atau interpretasi yang
lain.
2.
Kesadaran
sebagai Intensionalitas
Yang
dimaksud di sini adalah masalah yang menyangkut subyektifitas dan dunia. Edmund
Husserl (1859-1938) adalah filsuf pertama yang menunjukkan jalan keluar dari
masalah ini. husserl mengkritik pendapat Descartes cogito ergo sum yang tidak
lengkap. Tidak pernah “saya berpikir” begitu saja, tetapi setiap aktus kesdaran
mempunyai objeknya. Maka dari itu cogito saja tidak cukup, seharusnya Descartes
harus berkata cogitatum-lebih baik lagi dalm bentuk jamak-cogito cogitata.
Selalu saya memikirkan apa yang dipikirkan (cogitata). Tidak pernah saya sadar
begitu saja tapi kenyataannya saya sadar akan sesuatu. Pada manusia tidak
pernah ada kesadaran murni. Selalu ada kesadaran yang terarah pada suatu obyek.
Kesadaran yang tampak pada diri sendiri tidak hanya dengan cara tak langsung
saja. Yang langsung contohnya “ saya melihat pohon itu”, “saya mendengar suara
itu”,dst. Secara langsung saya sadar bahwa saya melihat pohon itu saya
mendengar suara itu. Tidak pernah saya sadar akan kesadaran saya secara
langsung.
Menurut
Husserl, intensionalitas tidak merupakan aspek kesadaran di antara aspek-aspek lain yang mungkin ada.
Intensionalitas bukanlah “sifat tambahan” pada kesadaran, melainkan hakikat
kesadaran itu sendiri. Kesadaran adalah kesadaran karena intensional. Heidegger
mengungkapkan hal yang sama bahwa manusia adalah eksistensi, yang biasa ia
tulis dengan ek-sistensi. Hidup sebagai manusia berarti keluar (ek) dari
imanensinya dan terarah pada yang lain.
Dengan
demikian kita kembali pada masalah dunia. Kalau subyektifitas dianggap sebagai
keterarahan kepada yang lain, makanya kiranya sudah jelas bahwqa kita menerima
hubungan dialektis antara subyektifitas dan dunia. Subyektifitas dan dunia
adalah korelatif, yang satu mengandaikan yang lain.
Sebagai
akibat dari perkembangan pemikiran manusia yang hanya berkutat pada aliran vitalisme
dan materialisme, timbul masalah masalah baru yang semakin hari semakin membuat
manusia terjerumus dalam permasalahan baru. Diantara sekian banyak permasalahan
yang timbul, ada beberapa hal yang efeknya sangat dirasakan perubahannya di
dunia ini, antara lain:
1. Kehidupan
dunia yang transient (tidak langgeng)
Sedikit
membahas tentang paham materialisme yang berasal dari kata materi/material,
yang berarti suatu objek atau bahan menempati ruang dan dapat diukur. Paham
materialisme dapat diartikan sebagai paham yang meyakini esensi kenyataan.
Paham tersebut lebih mengunggulkan faktor material diatas faktor spiritual.
Maksudnya, dunia ini adalah kumpulan materi yang bergerak. Mereka mengatakan
bahwa kekuatan spiritual(roh,jiwa,kesadaran) adalah materi yang sedang
bergerak. Semua kejadian yang terjadi di dunia ini harusnya bisa dibuktikan
secara empiris oleh manusia. Kalau tidak, maka bukan berarti ada kekuatan
siritual yang sedang mempengaruhi. Melainkan akal manusia tersebut yang belum
mampu membuktikannya. Paham yang dianut oleh Karl Marx (1818-1883)
, Thomas Hobbes (1588-1679) ,Van Der Welj (2000) tersebut sangat bertolak belakang dengan
hakekat kehidupan pada dasarnya. Bagaimana ketika manusia memandang aspek
ketidaklanggengan(transient), ketidakabadian dan keterbatasan kehidupan di
dunia ini? Lantas mereka melahirkan pertanyaan pertanyaan tentang hakekat
penciptaan dan tujuan kehidupan. Padahal semua kebahagiaan, kenikmatan dan
kebaikan di dunia ini akan mengalami kefanaan,kehancuran dan kepunahan. Tak
satupun dari perkara dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah
hakekat kehidupan yang tak satupun manusia dapat ingkari. Bagi mereka yang
belum mengerti akan nilai tersebut, di dalam lubuk hati mereka selalu bertanya:
Apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan alam yang tak abadi
ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia ini? Apakah yang
diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus berakhir
dengan masa remaja? Apakah masa remaja selalu berujung pada masa dewasa dan
masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan, kesedihan, dan kemalangan yang di
alami manusia di dunia ini berakhir niscaya beralih pada kebahagiaan,
kegembiraan, dan keberuntungan manusia? Bagaimana dengan nasib manusia manusia
yang semasa hidupnya mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pertanyaan
tersebut sering kali mengacaukan hakekat hidup manusia ketika ia disandingkan
dengan adanya Tuhan. Adalah keberadaan tuhan yang membuat kehidupan di dunia
ini menjadi tidak langgeng, hancur dan punah. Pada dasarnya manusia senantiasa
merindukan kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan yang hakiki. Saat mereka
telah mendapatkan apa yang ia cita citakan, maka mustahil mereka akan
menanyakan dan merenungkan kembali hal hal yang berhubungan dengan hakikat
hidup,paham materialisme dan tujuan hidup ini.
2. Misteri
kematian
Sama
seperti permasalahan di atas, bagi orang orang yang menganut paham
materialisme, mereka akan mempertanyakan misteri kematian dalam dirinya masing
masing. Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan
dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan
kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian
merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak
oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk hidup. Ketika manusia melihat
kehidupannya sendiri, ia mendapati kehidupannya harus berujung pada gerbang
kematian. Ia lantas merenung, mempertanyakan mengapa kehidupan dunia ini
tercipta dan setelah menghabiskan banyak waktu untuk memperjuangkannya, hanya berakhir
pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya kehidupan alam materi ini dibentuk
secara abadi dan berkepanjangan? Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya
adalah kematian mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi
kehidupan? Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam
kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan penciptaan,
tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian salah satu dari
keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan kemudian larut
merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan manusia di
dunia ini.
3. Kegagalan
dalam meraih cita cita.
Seiring
dengan berjalannya waktu, manusia mengerti dengan sendirinya tentang tujuan
atau cita cita hidup mereka. Dan setiap manusia sudah menentukan sendiri peran
apa yang akan mereka ambil untuk mensejahterakan hidup mereka. Inilah yang
disebut pemenuhan cita cita. Seperti paham vitalisme memahami pemikiran ini,
dimana vitalisme meyakini bahwa kenyataan sejati adalah energi, daya, kekuatan
dan nafsu yang bersifat irrasional dan instingtif. Paham vitalisme menolak
adanya materialisme dan idealisme. Paham ini berpendapat bahwa setiap kejadian
hanya dipengaruhi oleh daya, energi, atupun nafsu yang tidak rasional ataupun yang
pada akhirnya dapat dirasionalkan. Apabila dikaitkan dengan kegagalan meraih
cita cita, paham vitalisme sangat mendasari bagaimana sebagian orang berusaha
meraih apa yang mereka sebut dengan cita- cita,bagaimanapun caranya dan
berapakan waktu dan tenaga yang terkuras olehnya.
Dalam
menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang cita-citanya
yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya dengan segala
kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan, manusia yang semestinya
menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai perantara meraih tujuan hakiki
dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling kepada cita-cita hakiki ketika
mulai terjebak dan tersudut di pojok kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi
berbuat yang terbaik bagi kehidupan duniawinya. Point yang perlu juga
diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan kembali persoalan hakikat
dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita seseorang.
Sebagai
contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan perjalanannya pada wilayah
tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia tidak dapat mencapai tujuan
perjalanannya itu terkadang ia merenung sejenak mengenai arti kehidupan dan
tujuan manusia dihamparan kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini,
ketika waktu berlalu dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang
menggantikan cita-citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak
menghiraukan lagi tujuan hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda
dengan seorang kaya dan berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit
dan kemudian berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi
yang dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah
bertahun-tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali
tak kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam
keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang tidak dapat
menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya kepada apa-apa yang
dicita-citakan, di saat seperti ini
terkadang akan mengarahkan pikiran jernih dan menggoyah kesadaran
batinnya untuk kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat
penciptaan.
4. Kondisi
kehidupan sosial yang tak menguntungkan.
Keadaan
kehidupan masyarakat yang sarat dengan masalah yang sulit dicari solusi dan
pemecahannya merupakan salah satu faktor yang dapat membuat manusia kembali
merenungkan makna kehidupan dan tujuan penciptaannya. Seorang miskin yang jauh
dari kenikmatan kehidupan duniawi, kehidupannya dijalani dengan segala
penderitaan, usaha keras dan banting tulang dari pagi hingga malam hari terus
mencari sesuap nasi dan memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini
yang hanya mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan
merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir di dunia
ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan dan kemalangan?
Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya, tidak
berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti akan
melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi. Tapi kalau
diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila meraih apa
yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak memikirkan hal-hal yang
berhubungan dengan makna dan tujuan penciptaan, karena mereka sesungguhnya
hanya menginginkan perubahan kondisi kehidupan duniawinya dan lantas
menempatkan secara salah pertanyaan tentang tujuan hidup.
PENUTUP
Kehidupan manusia adalah sebuah
perjalanan kompleks. Ada banyak hal yang bisa saja terjadi tanpa kita prediksi
terlebih dahulu. Satu paham atau aliran saja tidak bisa menjawab semua
eksistensi kita sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan paling sempurna ini.
Bahkan apabila setiap individu terlalu meyakini, berpatok dan berbuat sesuai
satu aliran yang ia yakini tanpa mengindahkan faktor lain, bukan malah
kesejahteraan hidup yang ia dapat. Melainkan kemalangan, keserakahan dan
ketidak adilan yang akan ia dapat. Bayangkan ada berapa banyak manusia di dunia
ini dengan segala pemikirannya. Dan apa yang akan terjadi apabila menusia
semakin tidak arif dalam berfikir dan menyikapi persoalan di dunia ini.
Memandang kehidupan
dunia ini secara hakiki, hanya bisa diraih ketika manusia lepas dari pengaruh
emosional dan kejiwaan yang menimpa kehidupan dunianya dan melihatnya dengan
jiwa yang suci dan perenungan rasional, dengan demikian ia akan mencapai
masalah yang hakiki mengenai tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.Sesungguhnya
jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap manusia, tujuan dan
filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan material dan
fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur serta
kecenderungan-kecenderungan alami lainnya. Apabila manusia telah puas dengan
kehidupan material dan duniawi ini, maka ia tak lagi mengejar
pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir di dunia
ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau paling tidak jawaban dari pertanyaan
ini tidak ditafsirkan dan diarahkan kepada kehidupan duniawi dan material. Para
pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar, karena mereka
memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan dunia-material. Oleh karena
itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat penciptaan didasarkan dan
ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan duniawi. Mereka menolak tujuan lain
selain ini.
No comments:
Post a Comment